“Kamu kuliah di Harvard jalur biasa atau jalur beasiswa?”
“Dapat beasiswa dari mana, kok bisa kuliah di Harvard?”
Itu adalah beberapa contoh pertanyaan
pertama yang sering
orang sampaikan ke saya begitu mereka tahu saya pernah kuliah di
Harvard. Semua pertanyaan sah-sah saja, tapi yang saya heran, kenapa
pertanyaan-pertanyaan
pertama selalu tentang beasiswa? Bukannya kalau kagum atau heran saya kuliah di Harvard harusnya yang ditanyakan adalah
bagaimana caranya bisa diterima?
Toh kalaupun sesorang dapat beasiswa belum tentu dia bisa diterima di
Harvard. Di sebagian besar sekolah yang baik, seleksi penerimaan
mahasiswa terpisah dengan seleksi untuk beasiswa. Tidak ada hubungannya
kemampuan membayar sesorang dengan diterima atau tidaknya di sekolah.
Lebih umum lagi, saya juga melihat perhatian yang membabi buta pada
beasiswa. Ada banyak mailing list beasiswa, website beasiswa, Twitter
beasiswa dan sejenisnya, tapi sedikit sekali tempat berdiskusi tentang
kualitas sekolah dan bagaimana cara diterima di sekolah yang baik.
Saya mengerti sekolah di luar negeri itu mahal sekali. Kalau kita
membandingkan pendapatan per kapita orang Indonesia dengan biaya kuliah
di luar negeri, sepertinya kuliah di luar negeri itu tidak mungkin
dibiayai sendiri. Jadi harus dapat beasiswa. Maka wajarlah muncul
pertanyaan-pertanyaan seperti tadi. Yang ingin saya luruskan melalui
tulisan ini adalah kesalahan menaruh perhatian membabi buta terhadap
beasiswa sehingga melupakan hal lain yang lebih penting. Saya juga ingin
menjelaskan bahwa membiayai kuliah di luar negeri itu mungkin sekali,
dan ada banyak caranya.
Berikut adalah dua prinsip yang harus selalu dipegang.
1. Fokuslah untuk bisa diterima di sekolah yang baik, bukan mendapatkan beasiswa.
Prinsip utama dalam merencanakan sekolah di luar negeri adalah
fokuslah untuk bisa diterima di sekolah yang baik, bukan mendapatkan
beasiswa. Saya ulangi lagi:
FOKUSLAH UNTUK BISA DITERIMA DI SEKOLAH YANG BAIK, BUKAN MENDAPATKAN BEASISWA. Saya ulangi sekali lagi:
FOKUSLAH UNTUK BISA DITERIMA DI SEKOLAH YANG BAIK, BUKAN MENDAPATKAN BEASISWA.
Saya sering tercengang bagaimana banyak sekali orang bisa lupa bahwa
dalam proses persiapan sekolah di luar negeri, tujuan utama seharusnya
adalah dapat bersekolah di sekolah yang sebaik mungkin. Beasiswa
hanyalah salah satu alat yang memungkinkan kita sekolah.
Saya umpamakan orang yang merencanakan sekolah ke luar negeri dengan
seorang pria yang mencari istri. Saya umpamakan juga proses mendapatkan
beasiswa dengan proses membeli mobil untuk menarik perhatian si calon
istri. Fokus utama si pria seharusnya adalah memilih wanita yang akan
dijadikan istri dan mengusahakan agar lamarannya diterima wanita
tersebut, BUKAN membeli mobil agar dapat menarik perhatian wanita.
Membeli mobil hanyalah suatu alat untuk menarik perhatian wanita, dan
itu bukan satu-satunya alat. Memiliki mobil pun bukan jaminan lamaran si
pria diterima wanita tersebut.
Fokus untuk mendapatkan beasiswa bisa berbahaya, karena:
a. Fokus pada beasiswa bisa membuat pelamar mengkompromikan kualitas pendidikan.
Ambil contoh seseorang yang berencana mengambil MBA di Amerika
Serikat. Si pelamar ini fokus untuk mendapatkan beasiswa. Riset yang dia
lakukan adalah mencari tahu beasiswa apa yang tersedia untuk program
MBA di Amerika. Dari Google dia mendapat informasi seperti ini:
- Hasil pencarian Google untuk ‘scholarship MBA USA’.
Singkat kata si pelamar ini akhirnya berkuliah di Executive MBA
Program Walden University. Padahal, universitas ini termasuk abal-abal.
Padahal (lagi), program-program MBA terbaik di Amerika juga memberikan
beasiswa, cuma dia tidak tahu saja, karena dia terlalu fokus mencari
beasiswa, bukan mencari tahu program-program mana saja yang terbaik baru
kemudian mencari tahu cara membiayai kuliah di sana.
Contoh lain, beberapa beasiswa membatasi sekolah yang boleh dilamar,
sesuai dengan anggaran beasiswa. Di Amerika Serikat misalnya, banyak
sekali universitas swasta yang sangat baik (misalnya
universitas-universitas Ivy League) yang biaya kuliahnya lebih mahal
daripada universitas negeri. Betapa sedihnya saat seorang penerima
beasiswa terpaksa memilih sekolah yang lebih buruk kualitasnya karena
himbauan atau bahkan larangan si pemberi beasiswa.
b. Periode aplikasi sebagian beasiswa tidak cocok dengan periode aplikasi sekolah.
Ambil contoh seseorang yang berencana mengambil master di bidang
ekonomi di Inggris di tahun 2013. Si pelamar ini fokus untuk mendapatkan
beasiswa dulu baru melamar ke sekolah. Beasiswa yang paling umum untuk
orang Indonesia adalah Chevening. Aplikasi Chevening untuk tahun 2013
dibuka dari Oktober sampai Desember 2012. Penerima beasiswa diumumkan
pada bulan Maret 2013.
Sementara itu, sebagian besar universitas di Inggris memberlakukan sistem
rolling admission,
artinya aplikasi yang masuk akan langsung diproses dan hasilnya
diumumkan segera. Tidak ada batas waktu aplikasi; aplikasi diterima dan
diproses sampai seluruh kursi terisi. Semakin lama, kursi yang terisi
semakin banyak. Untuk kuliah tahun 2013, kebanyakan universitas mulai
menerima aplikasi bulan September 2012. Pada bulan Januari 2013,
sebagian besar kursi di sekolah-sekolah terbaik (seperti Oxford,
Cambridge, dan London School of Economics) sudah terisi. Jika si pelamar
menunggu sampai Chevening mengumumkan hasil beasiswa, baru melamar
sekolah, katakanlah paling cepat di bulan April 2013, hampir dapat
dipastikan dia tidak akan diterima di sekolah-sekolah terbaik. Bukan
karena aplikasinya tidak berkualitas, tapi karena semua kursi sudah
terisi. Dia terlambat memasukkan aplikasi.
Katakanlah si pelamar juga tidak bermaksud melamar ke sekolah-sekolah
terbaik. Pertama, Chevening mensyaratkan pengalaman kerja minimal dua
tahun setelah lulus S1, sedangkan universitas sendiri tidak mensyaratkan
hal ini. Kedua, seandainya si pelamar tidak mendapat beasiswa Chevening
dan dia tidak jadi melamar ke sekolah karena itu, dia harus membuang
waktu minimal satu tahun lagi sampai periode aplikasi beasiswa
selanjutnya. Tidak ada jaminan juga tahun depannya dia akan mendapat
beasiswa Chevening. Sampai berapa tahun dia harus menunggu sampai bisa
mewujudkan mimpinya sekolah di Inggris? Padahal, kalau saja dia langsung
melamar ke beberapa sekolah di Inggris (tanpa menunggu dia dapat
beasiswa Chevening atau tidak) kemungkinan besar dia diterima sekolah
(karena dia melamar ke
beberapa sekolah).
c. Beasiswa mensyaratkan ketentuan yang mungkin tidak sejalan dengan ketentuan sekolah dan minat pelamar.
Lembaga pemberi beasiswa selalu punya misi, misalnya ingin
memberdayakan kelompok masyarakat tertentu. Maka wajar jika mereka lebih
memprioritaskan, atau bahkan memberi kuota khusus, untuk kelompok
tertentu, misalnya wanita, pegawai negeri, orang yang berasal dari
Indonesia Timur, atau korban tsunami. Mereka juga memprioritaskan atau
hanya memberikan beasiswa untuk bidang tertentu, misalnya studi gender,
studi hak azazi manusia, pertanian, atau tata kelola sumber daya air.
Tentu itu haknya si pemberi beasiswa mensyaratkan macam-macam.
Tapi bagaimana kalau profil si pelamar dan minatnya tidak cocok
dengan ketentuan beasiswa? Ambil contoh seorang pria pegawai bank
swasta, asal Jakarta, yang ingin mengambil MBA. Akan sulit baginya
mencari beasiswa yang cocok. Apakah dia harus mengubah bidang studi
pilihannya demi memperbesar kemungkinan mendapat beasiswa? Atau dia
harus menunggu sampai ada beasiswa yang mensyaratkan profil yang cocok?
2. Ada banyak sekali cara untuk membiayai sekolah, bukan hanya beasiswa.
Jadi kalau tidak dengan beasiswa, bagaimana caranya membiayai kuliah
di luar negeri? Pertama, saya tidak pernah mengatakan ‘jangan cari
beasiswa’. Beasiswa tetap merupakan salah satu sumber pembiayaan kuliah
di luar negeri; yang saya katakan adalah fokuslah untuk dapat diterima
di sekolah yang baik, dan usahakanlah berbagai sumber pembiayaan,
termasuk dengan melamar secara strategis ke beberapa beasiswa.
Mari kita rinci berbagai alternatif pembiayaan untuk kuliah di luar negeri.
1. Beasiswa dari sekolah
Ambil contoh seorang yang ingin kuliah di Columbia University
Graduate School of Journalism, Amerika Serikat, salah satu sekolah
jurnalistik terbaik di dunia. Saya sama sekali tidak familiar dengan
sekolah ini, tapi mampir sebentar saja di website sekolah ini, saya
temukan daftar sekitar 100 jenis beasiswa yang ditawarkan sekolah
sendiri untuk mahasiswanya.
- Website Columbia University Graduate School of Journalism.
Beasiswa ini biasanya dikelola langsung oleh sekolah, proses
aplikasinya bersamaan dengan proses aplikasi sekolah, dan proses
seleksinya dilakukan sendiri oleh sekolah (terpisah dari seleksi
penerimaan mahasiswa). Kemungkinan besar, dari 100 beasiswa ini ada
beberapa yang cocok dengan profil si pelamar. Yang paling penting adalah
si pelamar harus diterima dulu di sekolah tersebut, sehingga dia bisa
eligible untuk berbagai beasiswa tersebut.
2. Beasiswa dari luar sekolah
a. Beasiswa dari badan eksternal
Melanjutkan contoh kita, misalkan si pelamar mencari beasiswa lain
yang disediakan pihak luar sekolah yang bisa dilamar calon mahasiswa
jurnalistik dari Indonesia. Sebentar saja riset di internet, dia
menemukan banyak beasiswa yang bisa dia lamar, seperti beasiswa
Fulbright, Ford Foundation, USAID, Foreign Press Association,
International Center for Journalists, dan lain-lain.
b. Beasiswa dari tempat kerja
Si pelamar pun bisa bernegosiasi ke tempatnya bekerja apakah mungkin
ia disponsori untuk kuliah di luar negeri, baik berupa pembayaran uang
kuliah, pembayaran seluruh atau sebagian gajinya saat dia sekolah, dan
lain-lain.
3. Kerja paruh waktu
Kalau si pelamar diterima sekolah, saat dia mulai sekolah pun banyak
cara membiayai kuliahnya, termasuk dengan bekerja paruh waktu. Dia bisa
bekerja di sekolahnya sendiri misalnya sebagai
teaching fellow, teaching assistant, researcher, assistant librarian, dan
support assistant, Dia juga bisa bekerja di luar kampus misalnya sebagai penulis, penerjemah, tutor,
researcher, bahkan profesi-profesi
blue collar seperti pelayan, penjaga toko, pencuci piring.
4. Tabungan
Tentu saja si pelamar bisa membiayai sebagian biaya kuliahnya menggunakan tabungan pribadinya atau keluarganya.
5. Pinjaman (student loan)
Pelamar pun bisa mengambil pinjaman (student loan) yang periode
cicilannya biasanya baru dimulai saat si peminjam sudah lulus dan
bekerja, dan baru diharapkan lunas 10-20 tahun kemudian. Tidak semua
orang yang kuliah di luar negeri tanpa beasiswa itu kaya raya. Mahasiswa
asal Cina, India, dan Amerika Serikat sendiri berani mengambil pinjaman
karena mereka tahu penghasilan mereka setelah lulus akan bisa meningkat
signifikan. Anehnya, banyak calon mahasiswa Indonesia yang hanya berani
menunggu beasiswa, entah sampai kapan, untuk mau kuliah. Padahal,
orang-orang yang sama ini berani mengambil pinjaman untuk membeli harta
seperti rumah atau mobil yang tidak akan meningkatkan potensi pendapatan
mereka.
6. Donatur individu
Si pelamar pun bisa mendekati donatur individu yang potensial,
misalnya alumni asal Indonesia dari sekolah yang ia tuju. Ia pun bisa
melakukan kampanye pengumpulan sumbangan dari masyarakat luas. Saya
sudah beberapa kali menyaksikan orang-orang yang mengumpulkan sumbangan
agar bisa kuliah. Mereka sukses membiayai sekolahnya, dan setiap
semester mereka memberikan laporan dan ucapan terima kasih bagi para
donatur. Masih sangat sedikit orang Indonesia yang diterima di
universitas-universitas terbaik dunia; jadi kalau anda sampai diterima,
yakinlah, orang-orang akan bangga dan senang membantu anda.
Jadi, ada banyak, banyak sekali cara untuk membiayai kuliah di luar
negeri, tinggal tergantung usaha kita. Merefleksikan pengalaman pribadi,
pada bulan Maret tahun 2010, saya berada di situasi di mana Saya
diterima di enam universitas: Harvard, Columbia, Cornell, Chicago, New
York University, dan London School of Economics, tapi belum mendapat
satupun beasiswa. Sampai saat itu saya sudah melamar ke paling tidak 11
beasiswa: enam beasiswa internal Harvard Kennedy School, ditambah
beasiwa eksternal seperti Fulbright (dua kali), Sampoerna Foundation
(dua kali), Joint Japan-World Bank, dan lain-lain, Saya sudah lupa apa
lagi. Saya tidak mendapat satu pun beasiswa ini. Selain itu, Saya pun
sudah mendekati berbagai yayasan, walaupun Saya tahu mereka tidak
menawarkan beasiswa. Akhirnya Saya mendapat beasiswa dari Rajawali
Foundation. Saya tidak melamar ke beasiswa ini; Saya bahkan tidak tahu
bahwa beasiswa ini ada. Harvard langsung mengalokasikan beasiswa ini
begitu Saya diterima. Beruntung? Mungkin saja, tapi Saya lebih
melihatnya sebagai hasil yang sesuai dengan usaha dan strategi yang
optimal. Kalau Saya tidak meneruskan melamar sekolah saat ditolak
beasiswa, mungkin sampai sekarang Saya belum sekolah.
Mencari sumber pembiayaan sekolah memang repot: menyita energi,
waktu, dan pikiran. Tapi seperti yang dijelaskan di atas, caranya
banyak. Apakah kita bisa mengatakan dengan jujur bahwa usaha kita untuk
bisa kuliah di luar negeri sudah optimal? Anda harus luar biasa sial
kalau tidak mendapat hasil sama sekali walau sudah mengusahakan semua
cara yang dijelaskan di atas. Kalau masalahnya adalah ‘malas’, Saya
tidak ada komentar : )
sumber: www.indonesiamengglobal.com